Melacak Genealogi Cing dan Nye: Representasi Gender dalam Seni Pertunjukan Tradisional
Seni pertunjukan tradisional Betawi, khususnya Lenong dan Topeng Betawi, adalah cerminan kaya dari masyarakat urban Jakarta tempo dulu. Karakteristik paling khas dari kedua genre ini adalah pemisahan peran gender yang jelas, di mana laki-laki sering mengambil peran maskulin yang kuat, dijuluki ‘Cing’, sementara perempuan mengambil peran feminin seperti ibu, anak gadis, atau kekasih yang sering dipanggil ‘Nye’. Memahami genealogi kedua istilah ini sangat penting untuk melacak representasi gender yang muncul di atas panggung.
Istilah ‘Cing’ (singkatan dari Encang atau Kacang yang berarti Paman atau Abang) dan ‘Nye’ (singkatan dari Enyak atau Nyak yang berarti Ibu) tidak hanya sekadar sapaan kekerabatan. Dalam konteks pertunjukan Topeng Betawi dan Lenong, panggilan ini menjadi penanda status sosial dan karakter. Genealogi panggilan ini memperlihatkan bagaimana struktur keluarga Betawi tradisional dibawa dan direplikasi dalam dialog panggung mereka.
Secara historis, di masa awal pertunjukan, peran perempuan (‘Nye’) dalam Lenong dan Topeng Betawi sering dimainkan oleh laki-laki, yang dikenal sebagai cross-gender acting. Praktik ini mencerminkan norma sosial yang membatasi keterlibatan perempuan di ruang publik, namun sekaligus membuka ruang untuk interpretasi dan parodi atas representasi gender yang kaku.
Seiring berkembangnya zaman, perempuan asli Betawi mulai mengisi peran ‘Nye’ secara langsung. Namun, meskipun telah diperankan oleh aktor perempuan, karakter ‘Nye’ ini sering dibatasi pada stereotip tertentu: sosok yang emosional, objek cinta, atau figur keibuan yang pasif. Hal ini menunjukkan dinamika yang kompleks dalam menampilkan representasi gender di panggung tradisional.
Sementara itu, peran ‘Cing’ dipertahankan sebagai karakter sentral yang aktif, mulai dari jagoan, saudagar, hingga jawara. Karakter ini mendominasi narasi dan aksi, memperkuat stereotip maskulinitas yang kuat dan berkuasa. Perbedaan dominasi panggung antara ‘Cing’ dan ‘Nye’ ini menjadi studi menarik tentang peran sosial di Betawi.
Analisis genealogi ‘Cing’ dan ‘Nye’ dalam Topeng Betawi dan Lenong menunjukkan bahwa seni pertunjukan ini adalah medan pertempuran simbolik representasi gender. Meskipun ada pergeseran dari cross-gender acting ke aktor perempuan asli, struktur naratif masih menempatkan perempuan (Nye) dalam posisi yang cenderung mengikuti alur cerita yang didominasi oleh laki-laki (Cing).
Dengan menelusuri asal-usul dan peran kedua sapaan ini, kita dapat melihat evolusi sosial Betawi. Seni Topeng Betawi dan Lenong tidak hanya menghibur, tetapi juga merefleksikan dan sekaligus menegosiasikan norma-norma sosial tentang representasi gender, yang terus berubah seiring dinamika masyarakat urban Jakarta modern.
Leave a Comment