Awalnya buku ini merupakan disertasi yang diajukan oleh penulis untuk meraih gelar Doktor di bidang perbandingan madzhab Universitas al-Azhar, Kairo-Mesir. Mengingat banyaknya sambutan positif terhadap karya ilmiah yang ditulis oleh ulama Betawi ini, maka di Kairo sendiri telah diterbitkan oleh salah satu penerbit yang cukup terkenal di Mesir.
Setelah promovendus berhasil mempertahankan dissertasinya di hadapan sidang tertutup dan mendapatkan nilai akhir dengan yudisium cumlaude, Profesor Syeikh Abdul Ghani Abdul Khaliq –selaku Pembimbing II- menyampaikan sambutan yang hangat. Ia menyatakan bahwa Disertasi ini merupakan karya tulis yang monumental, luar biasa dan sangat bermanfaat, karena pembahasaannya mencakup semua aspek yang berkaitan dengan Imam Syafi’i. Di samping itu, analisanya pun sangat tajam, mendalam, terpercaya, detail, dan komprehensif. Bahkan, tidak berlebihan, jika dikatakan bahwa buku ini adalah satu-satunya karya ilmiah yang paling sempurna yang pernah ada di zaman sekarang ini yang membahas tentang Imam Syafi’i.
Kiranya tidak berlebihan, pernyataan yang disampaikan oleh Syeikh Abdul Ghani, karena kenyataannya memang seperti itu. Dari beberapa buku yang ditulis mengenai madzhab Syafi’i yang telah beredar di pasaran, baik berupa karya terjemahan maupun monograf, buku ini tergolong yang paling lengkap dan komprehensif. Pembahasan tentang madzhab Syafi’i yang ditulis dalam buku ini bukan hanya seputar pendapat-pendapat fiqih Syafi’i yang terkenal dengan sebutan pendapat lama (qaul qadim) dan pendapat baru (qaul jadid). Tetapi, yang paling penting adalah kajian yang mendalam terhadap Ushul Fiqih yang digunakan oleh Imam Syafi’i dalam merumuskan pemikiran fiqihnya. Pemahaman yang sistemik terhadap metodologi Ushul Fiqih Syafi’i, berarti secara tidak langsung dapat memahami kerangka berfikirnya secara tepat, sehingga dapat memahami madzhab Syafi’i sesuai dengan konteks dirumuskannya madzhab terbesar sepanjang sejarah ini.
Madzhab Syafi’i merupakan salah satu madzhab penting, terkenal dan banyak penganutnya. Madzhab ini memiliki karakteristik tersendiri dalam perumusan dan pengambilan kesimpulan terhadap suatu hukum tertentu. Ciri utama madzhab ini adalah adanya istilah qaul qadîm (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru). Alumnus Universitas al-Azhar yang telah berhasil meraih gelar Master sebanyak tiga kali ini, sangat tertarik untuk meneliti letak perbedaan antara pendapat lama dan pendapat baru dalam madzhab Syafi’i. Mengkaji suatu madzhab bukan hal yang mudah, karena butuh kesabaran, kerja keras, ketelitian, dan kejelian dalam memilih referensi. Di samping itu, diperlukan juga pengetahuan yang baik tentang kondisi sosial kemasyarakatan pada saat munculnya madzhab tersebut. Plus pengetahuan tentang kehidupan, kepribadian, dan kecenderungan berpikir dari pencetus madzhab itu sendiri, serta metodologinya dalam melakukan istinbâth (pengambilan dalil hukum) dan istidlâl (penarikan kesimpulan hukum). Lebih-lebih jika yang dikaji adalah suatu madzhab besar yang memiliki ushûl (dasar-dasar madzhab), qawâ‘id (kaidah-kaidah madzhab), dan pengikut yang banyak. Madzhab seperti ini akan terus mendapat perhatian besar dalam cakrawala dunia Islam, karena telah mengakar kuat dalam sanubari kaum muslimin, contohnya adalah Madzhab Imam Syafi’i. Madzhab ini dianggap sebagai madzhab poros tengah (moderat) antara kubu rasionalis (ahl ar-ra’yi) dan tradisionalis (ahl al-hadîts).
Pembahasan tentang fiqih Syafi’i sebenarnya adalah kajian terhadap fiqih yang pengaruhnya sudah mulai nyata pada awal masa kekuasaan Bani ‘Abbas, yaitu pada bulan Rabi’ul Akhir Abad Kedua Hijriyah. Fiqih itu terus berkembang, tersebar ke berbagai penjuru dunia, dan masih berjaya sampai zaman sekarang ini, dan akan terus hidup sampai pada masa yang ditetapkan oleh Allah. Fiqih Syafi’i menempati poros tengah, antara fiqih tradisional yang bermarkas di Madinah dan fiqih rasional yang pusatnya di Baghdad sebagai Ibukota pemerintahan Bani ‘Abbas.
Ciri fiqih tradisional adalah berpegang teguh dengan tuntunan al-Qur’an dan hadis, serta tidak melampauinya kecuali dalam keadaan darurat. Alasannya, karena mereka mempunyai perbendaharaan hadis dan tokoh-tokoh hadis yang bisa dijadikan sebagai sumber referensi, sehingga mereka tidak perlu menggunakan qiyâs, kecuali apabila benar-benar dibutuhkan. Sebaliknya, fiqih rasional cenderung melampaui al-Qur’an dan hadis, karena mereka menghadapi masalah-masalah yang memang harus dipecahkan dengan nalar, dan mereka tidak mempunyai banyak perbendaharaan hadis dan tokoh-tokoh hadis.
Adapun fiqih Syafi’i berkarakter moderat dan penuh ketelitian, tidak sembrono dan gegabah. Fiqih ini mengadopsi sebagian metode fiqih tradisional dan sebagian metode fiqih rasional. Hal ini didukung dengan penguasaan Syafi’i yang mendalam terhadap dua aliran fiqih tersebut, karena sebelumnya ia telah mempelajarinya dari tokoh utamanya. Di usianya yang muda, ia giat belajar kepada Imam Malik, inilah modal utamanya dalam fiqih tradisional. Sementara fiqih rasional dipelajarinya dari pengikut dan penyebar madzhab Abu Hanifah, yaitu Imam Muhamad bin al-Hasan asy-Syaiban. Kemudian ia menyaring pemikiran terbaik dari kedua aliran fiqih ini, sebagai acuannya dalam berijtihad dan mengembangkan madzhab fiqih baru.
METAMORFOSIS MADZHAB SYAFI’I
Berdasarkan penjelasan di atas, perkembangan fiqih Syafi’i dapat dipetakan dalam empat tahap, yaitu: pertama, tahap persiapan dan pembentukan. Tahap ini dimulai setelah wafatnya Imam Malik pada tahun 179 H. Tahap ini berlangsung sekitar 16 tahun, sampai kunjungan Syafi’i ke Baghdad yang kedua kalinya, pada tahun 195 H. Perjalanan tahap ini didasarkan pada tiga faktor pendukung, yaitu: (1) setelah Imam Malik wafat, Imam Syafi’i pergi ke Yaman untuk bekerja. Tugas bekerja yang harus dijalaninya tentu berpengaruh terhadap kehidupan dan pola pikirnya. Ia harus mampu mengadaptasikan diri, dari tugas belajar yang bersifat teoritis dan tugas bekerja yang bersifat praktis. Perbedaan antara keduanya jelas cukup mencolok. Faktor yang ke (2) Imam Syafi’i harus meninggalkan Yaman dan berangkat ke Baghdad pada tahun 184 H. pada masa Khalifah Harus ar-Rasyid, karena dituduh sebagai penyebar paham Syi’ah. Tuduhan itu hasil konspirasi orang-orang Yaman yang iri kepadanya dan merasa kepentingannya terancam oleh eksistensi Imam Syafi’i. Untungnya, Imam Syafi’i berhasil lepas dari jeratan hukum negara dan bebas, berkat pertolongan Allah Swt.
Faktor ke (3) sekembalinya dari Baghdad, Imam Syafi’i sibuk mengajar di Masjidil Haram. Tanggung jawab sebagai pengajar bukan hal yang sepele, karena seringkali ia mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang tak terpikirkan sebelumnya. Lebih-lebih pada musim haji, banyak ulama dari berbagai penjuru dunia yang sengaja menyempatkan waktu untuk mendulang ilmu darinya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang sangat berbobot dan butuh jawaban yang tepat.
Ketiga faktor di atas sangat membantu Imam Syafi’i dalam rangka membentuk madzhab fiqih barunya yang berbeda coraknya dengan fiqih rasional dan fiqih tradisional. Namun, sampai saat itu, ia belum mempunyai kesempatan yang tepat, untuk memunculkan dan menyebarkan madzhab fiqih barunya itu. Ia baru mulai mengenalkannya pada tahun 195 H., setelah kunjungannya ke Baghdad yang kedua.
Selanjutnya tahap yang kedua adalah tahap peluncuran dan pengenalan madzhab Syafi’i. Imam Syafi’i mulai menyebarkan pemikiran fiqihnya, sejak kunjungannya ke Baghdad yang kedua pada tahun 195 H. sampai dengan kedatangannya ke Mesir pada tahun 199 H. Imam Syafi’i mencitrakan diskursus Islam dengan pemikiran-pemikiran barunya dan pendapat-pendapat fiqihnya dalam gambaran yang sempurna. Ia mulai menyebarkannya di Ibukota Pemerintahan Islam dan di pusat kekuasaan fiqih rasional. Fiqih yang disebarkannya adalah fiqih universal bukan parsial, yang didukung dengan kaidah-kaidah fiqih universal, ushul fiqih yang sistematis, dan dasar-dasar fiqih yang terstandarisasi dengan jelas.
Tahap ini merupakan masa-masa kritis yang sangat urgen dan cukup pelik, sebagai masa eksperimentasi yang mempertaruhkan reputasinya. Kesuksesan melewati masa ini pertanda keberhasilannya. Sebagaimana sering disebutkan dalam pepatah, “Ujian dapat mengantarkan seseorang menuju kesuksesan atau menuai kegagalan.” Ternyata, Imam Syafi’i berhasil melewati masa ini dengan kesuksesan yang gemilang. Ia patut berbesar hati, mengingat banyak orang yang berminat dengan fiqih barunya itu. Bukan hanya masyarakat umum yang tertarik, tetapi juga kalangan elit yang disebut-sebut sebagai orang-orang khusus. Sehingga forum pengajiannya menjadi forum yang paling diminati dan dibanggakan, karena sering dihadiri oleh para ulama dari berbagai latar belakang keilmuan dan keahlian, mulai dari ahli hadis, pakar fiqih, ahli bahasa, sampai dengan para penyair. Mereka semua ingin meneguk ilmu darinya untuk menghilangkan dahaga intelektual dan haus ilmu.
Tahap Ketiga adalah tahap penyempurnaan dan Pengukuhan Madzhab Jadid. Tahap ini berlangsung selama sisa hidup Iman Syafi’i, yaitu semenjak kedatangannya di Mesir pada tahun 199 H. sampai dengan akhir hayatnya pada tahun 204 H. Tahap ini terhitung cukup singkat, namun termasuk tahap yang teramat penting sepanjang sejarah hidupnya dan perkembangan fiqihnya. Tahap ini dianggap sebagai masa kesuksesan, kematangan, kegemilangan, dan produktivitas yang tinggi. Tahap ini ditandai dengan semakin berkembangnya ilmu, produk hukum, dan penggalian hukum ala Syafi’i. Juga diwarnai dengan banyaknya karya tulis dan buku-buku Syafi’i yang mengusung nama besarnya menjadi lebih harum lagi. Di masa ini pula, Syafi’i semakin terkenal sebagai ulama yang sangat mumpuni, menguasai berbagai ilmu, ahli debat; serta kepribadiannya mengalahkan para ulama dan ahli fiqih lainnya.
Pada masa ini, Imam Syafi’i sukses me-launching karya-karya intelektualnya yang merekam pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat fiqihnya. Ia juga melakukan revisi terhadap sebagian pendapatnya yang dikemukakan di Irak, karena adanya sebab-sebab tertentu yang mengharuskannya untuk melakukan perubahan ijtihad fiqih. Pada masa ini pula, fiqih Syafi’i telah terformulasikan sebagai suatu madzhab dalam bentuknya yang sempurna. Madzhab fiqihnya itu dianggap sebagai fiqih yang bersifat pragmatis dan dinamis, sehingga bisa dijadikan sebagai acuan di masa sekarang dan yang akan datang. Karena itu, para pengikut Imam Syafi’i hanya berkesempatan untuk memantapkan dan mengukuhkan madzhab baru itu dengan cara verifikasi dan otentifikasi, yang merupakan substansi dari tahap keempat. Tahap yang terakhir ini dimulai sejak wafatnya Imam Syafi’i sampai dengan kurun waktu yang cukup lama, kira-kira hingga pertengahan abad kelima Hijriyah atau pada abad ketujuh Hijriyah. Pada masa ini, banyak muncul para pemuka dan mujtahid madzhab, serta para imam yang mempunyai kapasitas keilmuan yang berbeda-beda.
SISTEMATIKA BUKU
Secara sistematis, buku ini terbagi dalam tiga BAB, yang diawali dengan Muqadimah dan ditutup dengan Khatimah. Bab Pertama dibahas secara mendetail mengenai riwayat hidup Imam Syafi’i semenjak lahir sampai wafat; dari . Dimulai dari pembahasan tentang masa pertumbuhan, masa pendidikan, dan ketekunan Imam Syafi’i dalam menggali berbagai ilmu dan fiqih. Pembahasan yang cukup menarik dalam bab ini adalah mengenai perkembangan intelektual Imam Syafi’i. Bermula dari pelajar biasa hingga menjadi orang alim luar biasa, ahli fiqih yang mumpuni, muftî (ahli fatwa) yang bijak, ahli debat yang argumentatif, sastrawan yang elegan, penyair kondang, dan peletak dasar-dasar ilmu ushûl (ushul fiqh). Sampai akhirnya ia menjadi seorang mujtahid terkenal yang keharuman namanya tersebar ke seluruh penjuru dunia dan disegani oleh para ulama ahli ushul fiqih, ahli fiqih, para pemikir, serta dielu-elukan oleh para pengikutnya. Masih dalam bab yang sama, dikemukakan juga mengenai kepribadiannya yang mempesona. Ia adalah pribadi yang berbakat dan bertalenta tinggi, serta suka bekerja keras dan penuh semangat. Semua anugerah Allah Swt. itu dicurahkan untuk berijtihad dalam kebaikan, memajukan dan mengembangkan fiqih, serta menegakkan agama Islam dan memajukan kaum muslimin.
Selanjutnya pada Bab II dijelaskan tentang Peta Sosial-Politik Masa Syafi’i, Bab ini memaparkan tentang situasi dan kondisi sosial-politik masyarakat setempat yang mempengaruhi perkembangan Madzhab Syafi’i. Dijelaskan pula tentang masa transisi kekuasaan pada saat itu yang ditinjau melalui persepektif politik, sosial, budaya, syari’at, teologi, dan fiqih. Selanjutnya dijelaskan mengenai sikap Imam Syafi’i dalam menghadapi problematika tersebut dan tanggapannya terhadap trend pemikiran kaum rasionalis dan tradisionalis (ahli hadis).
Bab III merupakan inti pembahasan, yaitu dijelaskan tentang Madzhab Syafi’i secara mendetail. Ada tiga topik utama yang dikaji dalam bab ini: pertama, pembahasan tentang Dasar-dasar atau metodologi Madzhab Syafi’i. Pembahasannya meliputi tentang sumber-sumber hukum syari’at menurut Imam Syafi’i; yaitu: al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Dijelaskan pula mengenai urutan sumber hukum tersebut dalam melakukan istidlâl; pendapat Syafi’i mengenai konsep al-Nâsikh dan al-Mansûkh, al-Mashâlih al-Mursalah, al-Istihsân, pendapat para sahabat, dan amalan penduduk Madinah. Kajian mengenai hal-hal tersebut dikutip langsung dari referensi utama, yaitu dari kitab al-Risâlah karya Imam Syafi’i. Dalam hal ini, penulis tidak hanya memaparkan metodologi ushul fiqih Syafi’i secara deskriptif, tetapi juga mengkomparasikannya dengan metodologi ushul fiqih dari para ulama lainnya, baik yang hidup semasa dengan Imam Syafi’i maupun sesudahnya. Sehingga pembaca diajak untuk berexplorasi dan berselancar di luasnya samudera fiqih Islam klasik. Inilah salah satu keistimewaan buku yang ada di tangan pembaca ini.
Topik kedua yang dikupas tuntas dalam Bab Ketiga adalah tentang Fiqih Syafi’i itu sendiri. Dalam bab ini dijelaskan secara detail tentang term Fiqih Lama; perbedaan antara Fiqih Lama dan Fiqih Baru; Hukum yang disandarkan pada Fiqih Lama dan Fiqih Baru; kontradiksi hukum antara Fiqih Lama dan Fiqih Baru; Komparasi antara Fiqih Lama dan Fiqih Baru; dan keunggulan Fiqih Lama dibanding Fiqih Baru dalam kasus-kasus tertentu. Selanjutnya dikemukakan juga pendapat Imam Syafi’i terhadap Fiqih Lamanya; tanggapan para pengikut Syafi’i mengenai Fiqih Lama; hukum mengamalkan Fiqih Lama. Lalu disambung mengenai pembahasan tentang biografi para pengikut dan pendukung Madzhab Sayfi’i; pengaruhnya dalam menyebarkan Madzhab ini; serta penjelasan tentang takhrij dan para mujtahid madzhab.
Topik ketiga yang juga tak kalah menariknya dengan dua topik sebelumnya, adalah Penjelasan tentang para pengikut dan pendukung Madzhab Syafi’i yang telah berjasa dan memberikan kontribusi besar dalam penyebaran Madzhab Syafi’i. Pembahasan ini juga merupakan bagian yang sangat menarik dari buku ini, karena penulis mampu memetakan pengikut Syafi’i yang notabenenya adalah para imam besar juga. Para ulama pengikut madzhab Syafi’i yang berhasil dipetakan adalah para ulama yang hidup semasa dengan Imam Syafi’i sampai pada masa Imam Tajuddin as-Subki yang hidup di pertengahan abad ke – 8 Hijriyah, lengkap dengan silsilahnya dari awal sampi akhir. Lalu dibahas secara khusus tentang pengaruh intelektual Imam Syafi’i dan karya-karya ilmiahnya yang spektakuler, seperti kitab al-Umm, ar-Risalah, Musnad, dan sebagainya.
Dengan demikian, tidak berlebihan apabila buku ini menjadi referensi utama bagi para mahasiswa, pembaca umum, kalangan intelektual, para tokoh masyarakat atau bahkan para pejabat pemerintah sekalipun.